PT Shun Kang Indonesia Klarifikasi Sistem Kerja, Pekerja Resign Sampaikan Keluhan Hak Normatif

Oplus_0

BN Online Makassar,–PT Shun Kang Indonesia, perusahaan penyedia tenaga kerja (outsourcing) beralamat di Jl.Trans Sulawesi, Dsn 1 Tabo, Desa Labota, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi-Tengah yang mana beroperasi di kawasan industri Morowal tengah menjadi sorotan publik terkait dugaan pelanggaran hak-hak normatif pekerja. Isu ini mencuat setelah salah seorang pekerja yang telah resign, Muh Fidaus, menyampaikan pengalaman serta keluhan seputar upah, jam kerja, dan status hubungan kerjanya pada awak media ini. Rabu 01/10/2025.

Muh Fidaus, .mengaku telah bekerja sejak 4 Desember 2023 hingga September 2025, mengaku jam kerja di perusahaan mencapai 12 jam per hari, dengan 8 jam kerja reguler dan tambahan 4 jam lembur. Menurutnya, meskipun jam lembur diakui, upah yang diterima belum sesuai dengan ketentuan UMK Morowali.

“Gaji yang saya terima jauh dari UMK. Kalau dihitung dengan lembur, nilainya masih kurang. Selama hampir tiga tahun bekerja, hak cuti pun hanya saya gunakan dua kali,” ungkapnya.

Fidaus juga menilai statusnya sebagai pekerja harian lepas tidak sesuai praktik nyata. Ia merasa bekerja terus-menerus tanpa jeda, sehingga lebih mirip dengan pekerja kontrak atau tetap.

“Kalau benar harian lepas, seharusnya pekerjaan bisa berhenti kapan saja. Tapi kenyataannya saya bekerja berkesinambungan,” ujarnya.

Pihaknya berharap perusahaan dapat menghitung kembali kekurangan upah, lembur, dan hak lain yang belum terpenuhi. Ia menegaskan, meskipun sudah resign, hak normatif tetap bisa dituntut sesuai ketentuan undang-undang.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PT Shun Kang Indonesia, Muchlis Ibrahim, menyampaikan klarifikasi resmi. Ia menegaskan bahwa perusahaan tetap berpedoman pada ketentuan perundang-undangan.

“Jam kerja mengacu ke UU tenaga kerja selama 8 jam kerja. Empat jam kerja berikutnya adalah lembur, dan lembur itu kami bayarkan setiap bulan bersama upah harian pekerja,” jelas Muchlis.

Muchlis menambahkan, perusahaan tidak pernah menahan atau mengurangi pembayaran upah lembur. Menurutnya, semua perhitungan dilakukan secara transparan dan dicatat dalam slip gaji yang diterima pekerja setiap bulan.

Terkait status karyawan, Muchlis menegaskan bahwa PT Shun Kang Indonesia menerapkan sistem pekerja harian. Hal ini, menurutnya, bukan tanpa alasan, melainkan karena sifat kontrak kerja sama dengan perusahaan asal Cina yang menjadi mitra penyedia pekerjaan.

“Kontrak bisa satu tahun, dua tahun, atau bahkan lebih pendek. Jadi pekerja harian lebih fleksibel dan sesuai dengan kondisi di lapangan,” katanya.

Ia juga menyoroti tingginya mobilitas tenaga kerja. Banyak pekerja yang berhenti secara sukarela setelah bekerja singkat.

“Ada karyawan yang hanya seminggu kerja lalu minta resign. Sebagian besar karena sudah mendapat panggilan di PT IMIP. Jadi tidak sepenuhnya masalah dari perusahaan,” tambahnya.

Muchlis juga membeberkan risiko yang ditanggung perusahaan. Dalam kontrak dengan mitra asal Cina, PT Shun Kang Indonesia wajib bertanggung jawab penuh atas insiden atau kerugian yang terjadi di lapangan.

“Misalnya kerusakan unit alat berat, bisa mencapai ratusan juta. Itu semua tanggung jawab kami, bukan pekerja,” jelasnya.

Menurutnya, risiko tersebut membuat perusahaan harus berhati-hati dalam menetapkan sistem kerja.

“Kami ini kontraktor, jadi kami menanggung risiko besar. Karena itu sistem kerja harian menjadi pilihan yang realistis,” tegas Muchlis.

Soal sistem kerja, Muchlis menjelaskan bahwa perusahaan menggunakan pola 20 hari kerja, dengan dua hari libur setelah empat hari kerja. Menurutnya, pola ini sudah disesuaikan dengan kebutuhan operasional sekaligus memberi kesempatan istirahat kepada pekerja.

“Iya benar, setiap empat hari kerja ada dua hari libur. Jadi tetap ada keseimbangan antara kerja dan istirahat,” ucapnya.

Mengenai perbedaan upah yang dikeluhkan pekerja, Muchlis menekankan bahwa besaran upah tidak bisa disamaratakan.

“Tergantung jenis pekerjaan dan keterampilan. Beda skill tentu beda gaji. Pekerja dengan kemampuan teknis mendapat upah lebih tinggi dibanding pekerja pemula,” paparnya.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa pihaknya terbuka terhadap evaluasi jika ada kekurangan.

“Kami tidak anti kritik. Jika ada yang menilai masih ada yang kurang, kami siap dievaluasi bersama pemerintah dan instansi terkait,” katanya.

Muchlis juga mengingatkan bahwa hubungan kerja di sektor outsourcing memiliki tantangan tersendiri. Pekerja dihadapkan pada kondisi dinamis, di mana kontrak bisa berubah sesuai kebutuhan pemberi kerja.

“Kami berusaha menyeimbangkan kepentingan karyawan dan kebutuhan mitra. Itu tidak mudah, tapi kami komitmen mencari jalan tengah,” tuturnya.

Pihaknya menolak anggapan bahwa perusahaan mengabaikan hak pekerja. Ia menegaskan, PT Shun Kang Indonesia selalu berusaha taat pada aturan, meski masih ada perbaikan yang perlu dilakukan.

“Kami berkomitmen agar semua hak pekerja tetap berjalan sesuai aturan yang berlaku di Indonesia,” tegas Muchlis.

Meski ada klaim dari pekerja soal kekurangan upah, perusahaan menekankan bahwa semua pembayaran sudah dilakukan sesuai ketentuan yang dipahami oleh manajemen.

“Kalau ada perbedaan perhitungan, kami siap duduk bersama untuk membahasnya,” kata Muchlis.

Kasus Muh Fidaus sendiri menjadi contoh bagaimana hubungan industrial perlu diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan salah paham antara pekerja dan perusahaan. Pemerintah daerah serta lembaga pengawas ketenagakerjaan diminta hadir sebagai penengah.

Dengan demikian, pemberitaan ini menampilkan dua sisi: suara pekerja yang menuntut hak normatif serta klarifikasi dari Direktur Utama PT Shun Kang Indonesia, Muchlis Ibrahim, yang menegaskan komitmen perusahaan untuk taat regulasi sekaligus mengakui adanya tantangan dalam sistem outsourcing.

Red.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *