BN ONLINE, MAKASSAR — Lembaga Antikorupsi Sulawesi Selatan (Laksus) bersama sejumlah aktivis masyarakat sipil berencana melaporkan dugaan penyimpangan pengelolaan ratusan proyek irigasi pertanian di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel).
Direktur Laksus, Muhammad Ansar, menyebut laporan tersebut akan disertai hasil investigasi mendalam terkait proyek Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang diduga bermasalah.
“Dari hasil penelusuran tim kami, terdapat sekitar 400 paket proyek P3A yang tersebar di Tana Toraja dan Toraja Utara dalam kurun waktu 2019–2024,” ujar Ansar di Makassar, Kamis (23/10/2025).
Menurut Ansar, sejumlah sumber dan dokumen yang dikumpulkan menunjukkan adanya indikasi pemotongan dana pada sebagian proyek tersebut.
“Kami menduga telah terjadi praktik pemotongan anggaran yang dilakukan secara sistematis dan terkoordinasi oleh oknum tertentu,” jelasnya.
Dalam temuan Laksus, setiap paket proyek disebut bernilai sekitar Rp195 juta, namun diduga ada pemotongan berkisar Rp50 juta dari tiap paket.
Jika akumulasi dana tersebut benar terjadi, total potensi kerugian atau penyimpangan bisa mencapai Rp20 miliar selama empat tahun pelaksanaan.
Ansar menjelaskan bahwa proyek P3A ini digulirkan di hampir seluruh lembang (desa) di dua kabupaten tersebut. Program ini sejatinya ditujukan untuk memperkuat sarana irigasi dan mendukung ketahanan pangan masyarakat.
Namun dalam praktiknya, menurut Ansar, terdapat dugaan penyimpangan dalam penyaluran dan penggunaan dana di tingkat pelaksana.
“Kami mendapat laporan bahwa dana proyek sebagian dipotong di tingkat kepala lembang sebelum sampai ke kelompok masyarakat penerima manfaat,” katanya.
Ia menambahkan, hasil pengumpulan data lapangan menunjukkan bahwa dana hasil potongan tersebut diduga diserahkan kepada pihak-pihak tertentu yang memiliki pengaruh dalam penyaluran proyek.
“Ada nama-nama yang disebut dalam laporan, termasuk orang kepercayaan dari salah satu mantan pejabat pusat yang diduga menjadi penghubung dalam penyerahan dana,” ujar Ansar tanpa menyebut identitas secara pasti.
Ia menekankan bahwa pihaknya tidak menuduh siapa pun secara langsung, namun berharap aparat penegak hukum dapat memverifikasi semua temuan tersebut secara objektif.
“Kami tidak ingin berandai-andai, biarlah Kejati yang menelusuri kebenaran data dan memastikan apakah benar terjadi penyimpangan atau tidak,” tambahnya.
Laksus juga mengungkapkan bahwa sebagian kepala lembang diduga memperoleh keuntungan tambahan dari proyek tersebut, dengan memotong dana untuk kepentingan pribadi maupun biaya administrasi tidak resmi.
Selain itu, ada juga informasi mengenai adanya setoran tertentu ke pihak lain yang disebut sebagai biaya operasional proyek. Praktik ini, jika terbukti, dinilai bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
“Setelah dihitung, dana yang benar-benar sampai ke kelompok tani penerima manfaat hanya sekitar Rp80 juta hingga Rp95 juta per paket. Jauh di bawah nilai anggaran sebenarnya,” ungkap Ansar.
Ia juga mencontohkan salah satu lokasi yang menjadi perhatian, yaitu Lembang Pa’tengko di Kecamatan Mengkendek, Tana Toraja. Di wilayah ini terdapat sejumlah proyek P3A, proyek PISEW (Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah), serta program bantuan wisata dan bedah rumah yang juga dinilai tidak sesuai volume pekerjaan.
“Patut diduga ada tumpang tindih antara dana desa dan proyek aspirasi pusat yang berpotensi menimbulkan kerugian negara,” jelasnya.
Berdasarkan hasil pantauan, lanjut Ansar, sebagian penerima manfaat program bedah rumah di lembang tersebut hanya menerima bantuan sekitar Rp15 juta dari total seharusnya Rp20 juta per keluarga.
Laksus menilai, jika temuan ini dibiarkan, maka akan berdampak buruk terhadap kepercayaan publik terhadap program pemerintah pusat yang seharusnya berpihak kepada petani.
“Kami akan segera menyerahkan laporan resmi beserta dokumen pendukung kepada Kejati Sulsel agar dilakukan telaah awal dan penyelidikan lebih lanjut,” kata Ansar menegaskan.
Ia juga meminta Kejati menurunkan tim untuk memeriksa langsung kondisi riil proyek di lapangan agar tidak terjadi simpang siur informasi.
“Kami percaya Kejati Sulsel akan bekerja profesional, transparan, dan tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum. Semua pihak harus menghormati proses hukum dan asas praduga tak bersalah,” pungkas Ansar.(*)