BN Online, Makassar – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PERAK Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam atas pemecatan dua guru di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) setelah putusan Mahkamah Agung (MA) terkait dugaan pungutan liar (pungli) di SMA Negeri 1 Masamba.
Menurut hasil penelusuran dan analisis hukum yang dilakukan oleh LSM PERAK Indonesia, tindakan kedua guru tersebut dilakukan bukan atas dasar niat jahat (mens rea), melainkan atas dorongan kemanusiaan dan tanggung jawab sosial untuk membantu guru honorer yang belum menerima gaji selama berbulan-bulan.
Aspek Hukum : Mens Rea dan Keadilan Substantif
Ketua Umum LSM PERAK Indonesia dan juga praktisi hukum Adiarsa MJ, SE, SH, MH, menegaskan bahwa dalam hukum pidana, niat jahat (mens rea) adalah elemen penting yang menentukan apakah suatu perbuatan patut dihukum secara pidana atau tidak.
“Dalam kasus dua guru di Luwu Utara, kami tidak menemukan adanya niat untuk memperkaya diri atau merugikan orang lain. Justru yang ada adalah semangat solidaritas untuk membantu sesama pendidik di tengah keterbatasan. Oleh karena itu, pendekatan hukum seharusnya mempertimbangkan unsur kemanusiaan dan niat baik pelaku,” ujar Adiarsa dalam pernyataan resminya Press release ke media, Kamis (13/11/25)..
Ia menambahkan bahwa hukum harus ditegakkan dengan asas keadilan substantif, bukan hanya keadilan formal. Dalam konteks pendidikan, pendidik sering kali dihadapkan pada dilema moral antara menjalankan aturan dan menjawab kebutuhan nyata di lapangan.
“Penegakan hukum yang kaku tanpa melihat konteks niat dan keadaan sosial justru bisa melahirkan ketidakadilan baru,” tegas pria yang juga berprofesi sebagai Pengacara ini.
Evaluasi Sistem dan Seruan Kebijakan Humanis
LSM PERAK Indonesia juga menyerukan agar pemerintah meninjau kembali kebijakan pemberhentian ASN secara otomatis pasca putusan pidana inkrah, terutama bagi tenaga pendidik dan tenaga sosial.
Menurut Adiarsa, perlu ada mekanisme evaluasi etik dan kemanusiaan sebelum menjatuhkan sanksi terberat seperti pemecatan tetap.
“Negara harus menyeimbangkan antara penegakan disiplin dan penghargaan terhadap pengabdian. Guru bukan sekadar pekerja birokrasi, mereka adalah pembentuk karakter bangsa. Jika hukum menutup mata terhadap niat baik, maka hukum kehilangan rohnya,” ujarnya.
LSM PERAK Indonesia juga mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem pembayaran guru honorer, agar tidak lagi memunculkan kondisi di mana pendidik harus mencari solusi darurat demi kelangsungan pendidikan.
Seruan Moral dan Keadilan Sosial
Dalam penutupnya, Adiarsa MJ menyampaikan pesan moral kepada seluruh pihak penegak hukum dan pemangku kebijakan agar menegakkan hukum dengan nurani dan kebijaksanaan.
“Hukum yang baik adalah hukum yang mampu membedakan antara kesalahan yang lahir dari niat jahat dan perbuatan yang timbul dari niat baik. Dalam kasus ini, kedua guru tersebut tidak layak diperlakukan seperti pelaku kejahatan. Mereka justru pantas dihargai karena menunjukkan kepedulian sosial yang sejalan dengan nilai kemanusiaan,” ungkapnya.
LSM PERAK Indonesia berharap pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat luas dapat mengambil pelajaran penting dari peristiwa ini bahwa keadilan sejati bukan diukur dari kerasnya sanksi, melainkan dari seberapa besar hukum memberi manfaat bagi manusia dan kemanusiaan.(*).










