Tiga Asosiasi Hiburan di Makassar Datangi Wali Kota Danny, Gegara Naikkan Pajak Hiburan 75 Persen

BN Online, Makassar-–Tiga asosiasi hiburan di Kota Makasar menemui Wali Kota Makassar Danny Pomanto di lantai dua kantor Balai Kota Makassar Jl Ahmad Yani.

Mereka adalah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Asosiasi Usaha Hiburan Malam (AUHM), dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

Kedatangan perwakilan tiga asosiasi ini untuk mengadukan terkait pajak hiburan yang mengalami kenaikan 75 persen.

Ketua PHRI Sulsel Anggiat Sinaga mengatakan, kenaikan pajak sangat memberatkan industri hiburan.

Untuk itu, ia berharap Wali Kota Makassar bisa memberikan solusi terhadap masalah ini.

Dari hasil pertemuaannya kata Anggiat, Danny Pomanto juga cukup kaget dengan kenaikan pajak 75 persen.

“Ternyata dilogikanya pak wali sendiri tidak masuk akal. Kita ketemu pak Wali ada sebuah keceriaan sedikit tentang UU No 1 tahun 2022 yang sudah ada perdanya,” ucap Anggiat Sinaga, Rabu (24/1/2024).

Dalam kesempatan ini, Anggiat juga melaporkan bahwa Perda Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2024 yang mengatur tentang kenaikan pajak itu tidak melibatkan asosiasi hiburan.

“Saya sendiri tidak pernah dilibatkan, makanya saya protes juga ke pak Wali ternyata pak Wali juga kaget angka 75 persen,” terangnya.

Karenanya, persoalan kenaikan pajak ini perlu pendekatan-pendekatan yang lebih intensif.

Pembahasan-pembahasan dalam perda harus bersifat kebutuhan publik.

“Ini aturan publik harusnya kita lebih intens diajak untuk diskusi,” protesnya.

Kepada Danny Pomanto, asosiasi menginginkan agar ada peraturan Wali Kota yang bisa meringankan pengusaha.

Diharapkan dengan pendekatan perwali itu ada ketetapan agar tetap menggunakan pajak yang sebelumnya.

“Yang kedua adalah kita datang untuk memberi sebuah pengertian, kalau dipaksakan 75 persen maka kita pasti akan tutup, dan beliau paham,” ujarnya.

Baginya, kenaikan 10 persen saja sudah sangat sensitif bagi pelanggan, apalagi jika sampai 75 persen.

“Mudah-mudahan perwali itu segera hadir agar menjadi sebuah kepastian kami seluruh pengusaha,” harapnya.

Menurutnya, pada saat kenaikan pajak 25 persen saja pengusaha sudah merasa ngos-ngosan, apalagi jika sampai 75 persen.

Umpannya kata Anggiat, jika perusahaan menerima Rp100 ribu, pemerintah mengambil 75 persen dari itu, artinya pengusaha hanya kebagian 15 persen.

Sementara perusahaan harus mengeluarkan biaya operasional termasuk gaji pekerja.

“Itu 25 persen saja sudah ngos-ngosan, jadi memang idelnya pajak itu 10 persen kalau bicara ideal, dalam kajian akademik yang disusun oleh Kementrian Hukum dan HAM tu sebenarnya ada pasalnya, bahwa pajak itu tidak bisa didiskriminasi,” katanya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *