BN Online, Makassar – Ribuan warga Kelurahan Bitoa, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, menyampaikan harapan agar proses penyelesaian sengketa lahan yang mereka tempati dapat dilakukan secara terbuka, adil, dan melibatkan semua pihak. Hal ini disampaikan menyusul Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Kantor DPRD Makassar, Senin, 19 Mei 2025, antara DPRD, Camat Manggala, dan pihak PT Aditarina Arispratama.
Warga yang telah menghuni wilayah tersebut selama puluhan tahun menyatakan keprihatinan atas arah diskusi dalam forum tersebut, yang dinilai belum sepenuhnya mencerminkan aspirasi mereka. Menurut mereka, penyelesaian konflik agraria semestinya mendengarkan semua suara, terutama dari masyarakat yang terdampak langsung.
“Kami telah tinggal di sini selama puluhan tahun secara terbuka dan damai. Banyak dari kami memiliki bukti pembelian berupa kwitansi. Kami bukan pendatang, kami bagian dari komunitas yang membangun kawasan ini,” ujar Zaenab, seorang warga setempat, saat ditemui pada Selasa (20/5/2025).
Menurut Zaenab, dalam praktik lokal pertanahan, kwitansi jual beli dan penguasaan lahan secara fisik selama bertahun-tahun sering dijadikan dasar pengakuan atas tanah. Hal ini, tambahnya, juga sejalan dengan prinsip hukum yang tercantum dalam Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Pasal tersebut menyatakan bahwa penguasaan lahan selama 20 tahun secara terus-menerus tanpa gangguan dapat menjadi dasar untuk memperoleh hak milik. Warga berharap hal ini menjadi pertimbangan dalam proses penyelesaian yang sedang berlangsung.
Sejumlah warga juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa proses mediasi bisa menjadi tidak berimbang apabila tidak melibatkan masyarakat secara penuh. Mereka menilai pentingnya peran DPRD dan pemerintah kecamatan sebagai fasilitator yang netral dan menjunjung prinsip keadilan.
“Kami menghormati proses hukum dan dialog, tapi jangan sampai ada kesan keberpihakan sebelum semua fakta didengarkan. Forum mediasi seharusnya tempat mencari solusi, bukan menghakimi salah satu pihak,” ujar seorang warga lainnya yang enggan disebutkan namanya.
Warga juga mengingatkan bahwa persoalan ini bukan hanya berkaitan dengan dokumen administratif, tetapi juga menyangkut kehidupan sosial, kemanusiaan, dan masa depan ribuan keluarga. “Ini soal tempat kami tinggal, membesarkan anak-anak, dan hidup bertetangga. Jangan abaikan aspek kemanusiaannya,” tegas Zaenab.
Sebagai bagian dari aspirasi mereka, warga mengutip Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas tempat tinggal layak, dan bahwa bumi, air, serta kekayaan alam lainnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Di kawasan tempat tinggal mereka yang disebut “Kompleks Perjuangan”, warga menyampaikan keinginan untuk tetap menyelesaikan persoalan secara damai. Mereka juga berharap tidak ada tekanan, penggiringan opini, atau pendekatan intimidatif yang merugikan satu pihak.
“Kami siap berdialog. Tapi jika hak kami terus diabaikan, kami juga akan menggunakan saluran hukum yang tersedia, termasuk mengadu ke tingkat nasional. Ini bentuk tanggung jawab kami menjaga hak hidup dan martabat,” tambah salah satu tokoh masyarakat.
Warga Bitoa menegaskan bahwa tanah yang mereka tempati bukan sekadar objek ekonomi, melainkan bagian dari sejarah, identitas, dan kehidupan mereka. “Kami tidak ingin berkonflik, kami ingin solusi. Hukum harus hadir sebagai penyeimbang antara masyarakat dan kekuatan lain,” tutup Zaenab.
Red*