BN Online, Makassar –Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin (Appi), menegaskan pentingnya menumbuhkan semangat toleransi, kepedulian lingkungan, dan tanggung jawab kolektif warga demi mewujudkan kota yang asri dan nyaman dihuni.
Pesan itu ia sampaikan saat menghadiri penanaman 1.000 pohon Tabebuya yang digelar Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) dalam rangka Musyawarah Pelayanan Selselbara di Jalan Perintis Kemerdekaan, Sabtu (27/09).
Turut hadir mendampingi, Ketua TP PKK Makassar Melinda Aksa, Kadis DLH Helmy Budiman, GM Claro Makassar Anggiat Sinaga, serta pengurus GPIB.
Appi menekankan bahwa penanaman pohon bukan hanya soal estetika kota, melainkan kebutuhan untuk menyeimbangkan ekosistem.
“Pohon ini akan menjadi hijau dan memberikan kembali oksigen. Inilah bentuk nyata cinta terhadap kota dan simbol toleransi antarumat beragama,” kata Appi.
Appi mengingatkan bahwa Makassar masih menghadapi tantangan serius dalam pemenuhan 30 persen ruang terbuka hijau (RTH). Saat ini, RTH baru mencapai 11 persen.
“Pemerintah kota tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kolaborasi. Kalau satu juta penduduk menanam satu pohon saja, kita sudah punya satu juta pohon baru di Makassar,” tegasnya.
Untuk itu, ia merencanakan kebijakan konkret, setiap siswa SD dan SMP diwajibkan menanam minimal satu pohon. Gerakan ‘satu orang satu pohon’ ini diharapkan menjadi pemantik hijau kota sekaligus bentuk pendidikan lingkungan sejak dini.
“Kalau 1,4 juta penduduk Makassar, minimal satu juta di antaranya menanam pohon, apa tidak hijau kota ini? Kalau setiap rumah sadar soal sampah, bayangkan betapa bersihnya kota ini,” jelasnya.
Ia juga mendorong penanaman pohon endemik yang kini langka, seperti copeng (anggur Bugis), kecapi, kersen, hingga bune, agar identitas ekologis Makassar tetap terjaga.
“Tabebuya kita pilih karena indah dan mampu menyerap polusi. Tapi jangan lupakan pohon lokal kita yang perlu hidup kembali,” tambahnya.
Swlain itu, masalah sampah sebagai tantangan lain Makassar. TPA Tamangapa seluas 19,1 hektare kini menampung 1.000–1.200 ton sampah per hari dengan tumpukan setinggi 17 meter. Kapasitasnya diprediksi hanya mampu bertahan dua tahun lagi jika tidak ada intervensi.
“Setiap RT-RW wajib punya sistem pengolahan sampah. Bisa lewat komposter, ekoenzim, budidaya maggot, atau biopori. Jangan bicara soal lingkungan kalau sampah kita masih dicampur dalam satu kantong,” tegas Appi.
Ia mengapresiasi inisiatif warga seperti Pak Sulaiman di Panakkukang, yang mengolah sampah plastik hingga bernilai ekonomis dan mengembangkan budidaya maggot.
“Bayangkan, 1 kilo maggot bisa mengatasi 5 kilo sampah. Kalau ada 100 kilo maggot, itu bisa menghabiskan 500 kilo sampah. Solusi sederhana ini nyata adanya,” jelasnya.
Pemkot Makassar juga menyiapkan kerja sama dengan sektor swasta melalui program CSR untuk penyediaan tempat sampah terpilah, agar warga lebih mudah memilah sampah organik dan anorganik sejak dari rumah.
Selain itu, Appi mendorong warga untuk memanfaatkan sampah rumah tangga menjadi produk bermanfaat, seperti ekoenzim untuk pembersih alami hingga kompos dari biopori.
“Kalau kita hanya bicara tanpa aksi, hasilnya tidak akan ada. Tapi kalau ada niat, pengelolaan sampah ini bisa menambah uang belanja ibu-ibu di rumah tangga,” cetusnya.*