BN Online Makassar — Lembaga Kajian Sosial dan Hukum (Laksus) mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan segera menetapkan Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM) nonaktif, Karta Jayadi, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap salah satu dosen perempuan.
Direktur Laksus, Muhammad Ansar, menilai proses penanganan perkara tersebut berjalan terlalu lama. Ia mendesak agar penyidik segera menaikkan status kasus dari tahap penyelidikan ke penyidikan.
Menurut Ansar, berdasarkan keterangan saksi-saksi dan bukti yang telah diserahkan oleh pihak pelapor, sudah terdapat indikasi kuat adanya unsur perbuatan melawan hukum.
“Kasus ini sudah memasuki bulan ketiga. Seharusnya sudah naik ke tahap penyidikan. Dengan bukti yang telah dikantongi penyidik, penetapan tersangka terhadap Rektor UNM nonaktif semestinya sudah bisa dilakukan,” ujar Ansar, Selasa (4/11/2025).
Kasus dugaan pelecehan seksual ini bermula dari laporan seorang dosen berinisial Q yang dilayangkan ke Polda Sulsel pada 22 Agustus 2025. Dalam laporan tersebut, Q menuding Karta Jayadi melakukan pelecehan seksual secara verbal dan digital.
Selain ke Polda Sulsel, laporan juga dilayangkan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk ditindaklanjuti secara etik dan administratif.
Dalam laporannya, Q menyebut tindakan tidak pantas itu terjadi sejak tahun 2022 hingga 2024, saat dirinya masih aktif sebagai dosen di UNM.
Menyikapi laporan tersebut, Kemendikbudristek telah menonaktifkan Karta Jayadi dari jabatannya sebagai Rektor UNM. Penonaktifan ini berlaku sejak awal November 2025.
Untuk sementara, jabatan Rektor UNM diisi oleh Prof. Farida Patittingi, Wakil Rektor Bidang SDM, Alumni, dan Sistem Informasi Universitas Hasanuddin, sebagai Pelaksana Harian (Plh).
Muhammad Ansar menilai, langkah penonaktifan itu menjadi sinyal kuat bahwa kasus ini memang perlu ditangani serius. Ia menegaskan, aparat kepolisian tidak boleh berlama-lama dalam menentukan status hukum perkara.
“Sekarang Karta sudah dinonaktifkan. Proses etik di Kemendikbudristek juga sedang berjalan. Jadi, tidak ada alasan bagi kepolisian untuk menunda proses hukum pidananya,” tegas Ansar.
Menurutnya, penyelidikan etik oleh Kemendikbudristek seharusnya berjalan paralel dengan proses hukum di kepolisian. Dengan begitu, keadilan bagi korban dapat segera ditegakkan.
“Apalagi bukti interaksi digital antara korban dan terlapor sudah diserahkan ke penyidik. Ini juga menjadi ujian bagi Kapolda Sulsel untuk menunjukkan integritas dan komitmen dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu,” kata Ansar.
Dosen Q, selaku pelapor, membenarkan bahwa seluruh bukti digital telah diserahkan kepada penyidik. Bukti tersebut disebut memuat komunikasi pribadi yang berlangsung selama tiga tahun terakhir.
“Seluruh bukti telah saya simpan dengan rapi sejak 2022 dan kini telah saya serahkan kepada aparat penegak hukum. Bukti aslinya tetap tersimpan untuk keperluan forensik digital,” ujar Q.
Q menuturkan, selama periode itu dirinya telah berulang kali menolak ajakan bernuansa pribadi yang tidak pantas dengan sopan dan profesional. Namun, tindakan serupa terus berulang hingga 2024.
Menyadari posisi terlapor sebagai pimpinan tertinggi kampus, korban menilai mekanisme penyelesaian internal berpotensi tidak objektif. Karena itu, jalur resmi melalui Polda Sulsel dan Itjen Kemendikbudristek menjadi pilihan yang dinilai paling adil.
Q juga menjelaskan alasan mengapa laporan baru diajukan setelah dua tahun berlalu. Ia mengaku membutuhkan waktu untuk mengumpulkan bukti lengkap serta membangun keberanian untuk melaporkan atasan langsungnya.
“Laporan ini tidak muncul tiba-tiba. Saya pastikan semuanya disertai bukti kuat dan siap diuji secara hukum,” ungkapnya.
Ia menyadari bahwa langkah hukum ini berisiko, termasuk potensi serangan balik atau upaya mendiskreditkan dirinya baik secara pribadi maupun akademik.
“Namun saya yakin, dunia akademik harus bebas dari pelecehan seksual. Kampus seharusnya menjadi ruang intelektual yang aman dan bermartabat,” tambahnya.
Di sisi lain, kuasa hukum Karta Jayadi diketahui telah melayangkan somasi kepada korban. Somasi tersebut dinilai oleh pihak korban sebagai bentuk tekanan hukum dan pengalihan isu dari substansi perkara.
Korban menegaskan, laporan yang diajukannya telah memenuhi syarat hukum dengan bukti sah. Karena itu, upaya intimidasi melalui somasi tidak akan menghentikan langkahnya mencari keadilan.
Ia menilai, pernyataan kuasa hukum terlapor yang mencoba mengaitkan masalah akademik dengan kasus ini adalah bentuk pengalihan isu yang tidak relevan.
“Pokok perkara ini adalah dugaan pelecehan seksual digital, bukan persoalan kinerja akademik,” tegasnya.
Q juga menolak anggapan bahwa laporannya dilatarbelakangi masalah jabatan atau persaingan di kampus. Ia menegaskan rekam jejak akademiknya selama ini baik dan berprestasi.
“Selama menjabat, saya terpilih sebagai Pembimbing Akademik terbaik di Fakultas Teknik dan menjadi Ketua Pelaksana Seminar Nasional Transportasi UNM,” ujarnya.
Ironisnya, kata Q, enam bulan setelah menunjukkan kinerja produktif, ia justru diberhentikan dari jabatannya tanpa alasan yang jelas.
“Hal ini menunjukkan bahwa tuduhan pelecehan seksual tidak bisa dibelokkan menjadi isu kinerja, karena keduanya sama sekali berbeda,” jelasnya.
Korban berharap laporannya dapat diproses secara adil dan profesional sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Tahun 2024.
Ia juga berharap agar kasus ini menjadi momentum penting untuk membersihkan dunia pendidikan tinggi dari praktik pelecehan seksual.
“Semoga kasus ini membuka mata semua pihak bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, dan kampus harus menjadi tempat yang aman bagi seluruh civitas akademika,” tutup Q. (**)










