BN Online, Lutra– Keputusan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk memberikan rehabilitasi terhadap dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara yang sempat dipecat karena dugaan pungutan liar (pungli) menuai apresiasi luas, termasuk dari LSM PERAK Indonesia yang sejak awal turut mendorong proses hukum yang transparan dan akuntabel di daerah.
Kedua guru tersebut, Rasnal (mantan Kepala Sekolah) dan Abdul Muis (Bendahara Komite Sekolah), sebelumnya dijatuhi sanksi administratif dan pidana atas dasar iuran sukarela Rp20.000 per siswa per bulan yang ditujukan untuk membantu pembayaran gaji guru honorer. Kasus ini sempat menjadi sorotan publik dan viral di media sosial karena menyentuh aspek kemanusiaan di dunia pendidikan.
Presiden Prabowo Subianto kemudian menggunakan hak prerogatifnya untuk merehabilitasi nama baik kedua guru tersebut. Langkah ini dinilai sebagai bentuk keadilan substantif, negara tidak hanya menegakkan hukum secara kaku, tetapi juga mempertimbangkan nilai kemanusiaan, moralitas, dan kepatutan sosial.
Rehabilitasi ini dianggap sebagai preseden positif bagi penegakan hukum di Indonesia, bahwa hukum harus hadir untuk memulihkan, bukan menghukum secara membabi buta.
Menanggapi keputusan Presiden, Ketua Umum LSM PERAK Indonesia, Adiarsa MJ, SE, SH, MH, menyampaikan pandangan hukumnya bahwa langkah tersebut adalah keputusan yang tepat dan berkeadilan, tanpa mengabaikan peran lembaga kontrol sosial yakni LSM dalam menegakkan disiplin dan integritas di lingkungan pendidikan.
“Sejak awal, kami menilai bahwa proses yang dilakukan aparat penegak hukum dan pelapor LSM terhadap dua guru tersebut sudah berada dalam koridor hukum yang benar. Namun, setelah menelaah lebih jauh, jelas terlihat bahwa unsur mens rea atau niat jahat dalam tindakan mereka tidak terpenuhi secara substansial,” ujar Adiarsa kepada wartawan, Kamis (13/11/25).
Menurutnya, LSM memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan pengelolaan dana publik berjalan transparan. Namun, dalam konteks ini, tindakan kedua guru dilakukan atas dasar kepedulian terhadap kesejahteraan tenaga pendidik honorer, sebuah bentuk tanggung jawab sosial yang patut diapresiasi, bukan dijatuhi hukuman berat.
“Kami memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Presiden Prabowo yang menempatkan nurani hukum di atas tafsir tekstual. Hukum memang harus tegas, tetapi juga harus berhati nurani,” tegas Adiarsa.
Adiarsa menilai, kasus ini harus menjadi pelajaran penting bagi dunia pendidikan dan aparat penegak hukum. Menurutnya, sinergi antara lembaga kontrol sosial, aparat, dan pemerintah pusat harus didasarkan pada prinsip keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan nilai kemanusiaan.
“Negara harus hadir bukan hanya dengan tangan besi hukum, tetapi juga dengan sentuhan kemanusiaan. Keadilan sejati bukan hanya menghukum pelanggaran, tetapi juga memahami alasan di balik tindakan manusia,” ujarnya.
Ketua LSM PERAK Indonesia itu juga mengajak seluruh kepala sekolah dan komite pendidikan di Indonesia untuk menjadikan kasus ini sebagai bahan introspeksi. Ia menegaskan pentingnya menambah literasi hukum agar setiap kebijakan internal sekolah memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak disalahartikan.
“Dua guru ini adalah simbol perjuangan moral di tengah sistem yang kaku. Mari kita jaga agar dunia pendidikan tetap menjadi ruang kejujuran, bukan ketakutan,” tutup Adiarsa.(*)










